Tradisi Penggunaan Pantun Dalam Pernikahan Adat Betawi
Suku Betawi dikenal sebagai salah satu kelompok masyarakat penutur pantun. Kekhasan Pantun Betawi tercermin dalam bahasanya yang unik. Unsur fonologi yang diucapkan memberikan kesan lucu.
Budaya pantun bagi masyarakat Betawi yang memiliki sejarah ini telah menyebar secara merata di antara semua kelas sosial seperti ulama, nelayan, orang terpelajar, orang biasa, dan bahkan di kalangan anak-anak dan remaja.
Pantun Betawi juga tidak terlalu kaku dan terpaku pada
standar pantun. Pantun umumnya terdiri dari empat baris (baris). Kolom pertama dan
kedua disebut sampiran. Baris 3 dan 4 merupakan isi. Namun pantun Betawi
memiliki pola yang bebas. Selain pantun empat baris, Betawi mengenal karmina
dengan pola dua baris. Uniknya, bahkan ada yang terdiri dari 6 baris. Sajak pantun
yang biasanya bersajak a-b-a-b juga dibuat dengan pantun bersajak a-a-a-a.
Orang Betawi hingga saat ini masih melestarikan pantun.
Karya sastra ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat sehari-hari dan muncul dalam berbagai upacara adat Betawi.
Pantun merupakan salah satu sastra lisan yang dianggap sebagai simbol komunikasi. Pantun juga biasanya digunakan untuk acara-acara tertentu, khususnya sebagai tradisi pernikahan dalam adat masyarakat Betawi. Salah satunya contohnya digunakan dalam tradisi berbalas pantun.
Perkawinan adat Betawi yang berirama satu sama lain dikenal sebagai palang pintu, perpaduan pencak silat dan seni berbalas pantun. Berbalas pantun biasa digunakan sebagai sarana yang bermanfaat untuk menyampaikan maksud dan tujuan seseorang.
Dalam tradisi ini mereka biasanya menunjukkan keahlian
dan atraksinya. Perwakilan dari pihak mempelai pria dan wanita saling
menunjukkan kebolehan antar jagoan kampung dengan memperagakan gerakan silat dan pantun saling
berbalas. Tujuannya untuk membuka palang pintu.
Pada tradisi ini, rombongan mempelai pria berbalas
pantun dengan tuan rumah. Setelah ini, barulah kemudian pihak mempelai pria
diundang ke rumah pengantin wanita untuk melanjutkan prosesi pernikahan.
Oleh karena itu, tradisi ini dilakukan sebagai simbol ujian
yang harus dilalui oleh seorang pengantin pria untuk melamar pengantin
wanitanya. Jawara di sisi pihak pria harus bisa mengalahkan jawara dari pihak
mempelai wanita. Jadi pihak mempelai dari pria harus bisa melewati hadangan
dan tantangan yang diberikan oleh pihak mempelai wanita agar bisa
melanjutkan prosesi ini.
Pantun ini bertujuan untuk menjelaskan kehadiran
rombongan mempelai pria di rumah mempelai wanita. Kemudian kedua wakil calon pengantin
bertukar pantun diselingi pencak silat
Betawi.
Awalnya mereka akan berpantun untuk saling menyapa.
Wakil mempelai pria kemudian menjelaskan tujuan kedatangannya sebelum memasuki
rumah mempelai wanita.
Dari dulu hingga sekarang, pantun sebelum dan sesudah
adat pernikahan Betawi masih dipraktekkan. Selain digunakan sebagai simbol
ujian, pantun ini juga dapat digunakan sebagai hiburan untuk meramaikan pesta.
Komentar
Posting Komentar